Minggu malam, 28 Februari 2010, pukul 22.00 waktu Arab Saudi.. Alhamdulillah, pada dini hari tadi aku dan suami beserta rombongan jemaah umr...
Minggu malam, 28 Februari 2010, pukul 22.00 waktu Arab Saudi..
Alhamdulillah, pada dini hari tadi aku dan suami beserta rombongan jemaah umroh Tazkia telah melaksanakan umroh, mulai dari tawaf, sa'i dan tahalul dengan lancar. Segala puji syukur aku panjatkan kepada Allah atas kemudahan ibadah umroh kami ini. Pelaksanaan umroh ini dipandu oleh seorang Mutowib, yaitu Ustadz Rizkon.
Setelah itu, mulai dari subuh, siang hingga malam hari ini, kami melaksanakan ibadah masing-masing. Artinya, setiap jemaah dibebaskan melakukan ibadah dan memperbanyak ibadah masing-masing, dan tidak dipandu lagi oleh Mutowib. Oleh karenanya, selepas shalat isya dan makan malam di hotel, suamiku mengajak untuk tawaf sunat.
Karena masih trauma peristiwa setelah umroh kemarin malam, aku membuat perjanjian dengan suami untuk mendampingi. Aku minta benar-benar digandeng sehingga kami tidak terpisah.
Selanjutnya, kami memulai tawaf dengan mengikuti petunjuk start pada lampu hijau. Pada putaran pertama, tawaf kami berjalan lancar. Namun memasuki tawaf kedua, jemaah lainnya mulai ramai memenuhi areal tawaf. Saking ramainya, tiba-tiba kami tersedot gelombang manusia, sehingga aku terpisah dengan suami.
Aku mencoba untuk tenang dan melanjutkan tawaf tanpa suami di sampingku. Aku berharap di tengah-tengah perjalanan tawaf ini kami berjumpa kembali. Namun harapanku sia-sia belaka. Sampai selesainya tawaf aku tak menjumpai suamiku. Dengan perasaan campur aduk, ada marah, jengkel, kesal dan hampir menitikkan air mata, aku berucap, " Duh, kemana sih suamiku? Janjinya saat tawaf menggandengku terus. Nyatanya, kami terpisah lagi seperti ini!" Aku melontarkan ucapan itu dengan nada kesal.
Karena kesal pada suami, lalu aku memilih langsung pulang ke hotel saja! Apa yang terjadi setelah aku tiba di hotel? Olala, ternyata kunci kamar ada pada suami! Percuma dong aku balik duluan, toh tak bisa juga beristirahat ke kamar! Lalu, aku melanjutkan menunggu saja di loby hotel. Setelah lewat setengah jam suamiku belum juga nongol. Aku mulai gelisah dan tidak sabar.
Seorang Mutowib bertanya kenapa aku seorang diri? Kujawab aku sedang menunggu suami. Saat itu jam menunjukkan hampir tengah malam. Tak ada lagi orang di loby hotel. Akhirnya Mutowib itu meyarankan aku untuk ke kamar saja. Mutowib itu membantu berkomunikasi dengan petugas hotel, sehingga aku dibuatkan kunci baru lagi.
Berbekal kunci itu aku bergegas ke lift menuju kamarku di lantai 17! Sebetulnya aku takut berada di dalam lift seorang diri, malam hari pula. Tapi apa boleh buat, aku sudah letih karena lama menunggu dan ingin cepat-cepat merebahkan tubuh di tempat tidur.
Apa yang aku harapkan untuk cepat-cepat ke kamar tak berjalan sesuai harapanku. Belum lagi sampai ke lantai 17, pintu lift terbuka dan masuklah laki-laki Arab yang tak kukenal. Tentu saja aku ketakutan dan memilih keluar Lift! Begitu terus selanjutnya yang terjadi, sehingga aku tak sampai-sampai di lantai 17 karena cuma keluar masuk lift saja!
Akhirnya aku memilih naik melalui tangga biasa. Eh, setelah sampai di lantai 16, ternyata tak ada lagi tangga untuk sampai ke lantai 17! Jadi gimana nih? Aku mulai ketakutan dan menangis. Di dalam hati ini ngedumel tak karuan kesal pada suami. Karena kelelahan turun naik tangga dan lift, aku memutuskan kembali lagi ke loby. Dengan nafas masih terengah-engah aku merebahkan tubuhku di bangku panjang loby hotel itu.
Baru saja menghela nafas panjang, tiba-tiba aku melihat sosok suamiku memasuki loby hotel. Alhamdulilah ya Allah, akhirnya Engkau pertemukan kembali aku dengan suamiku. Rasa kesal yang ada di dada sirna sudah melihat kedatangannya. Aku sadar, tadi terombang-ambing di dalam lift dan tangga karena aku tak sabaran dengan suamiku. Coba kalau tadi aku tunggu saja di pintu Masjidil Haram tempat biasa dimana kami sering janjian pasti tak begini kejadiannya.
Aku langsung menceritakan pengalamanku barusan dan meminta maaf pada suami. Suami pun meminta maaf atas kelalaiannya. Memang beribadah di tanah suci ini harus dengan kerelaan dan keikhlasan. Manakala kita menyampingkan rasa itu, ada saja bentuk teguran dari Allah. Aku menyadari, apa yang aku alami barusan adalah salah satu bentuk teguran Allah...
Alhamdulillah, pada dini hari tadi aku dan suami beserta rombongan jemaah umroh Tazkia telah melaksanakan umroh, mulai dari tawaf, sa'i dan tahalul dengan lancar. Segala puji syukur aku panjatkan kepada Allah atas kemudahan ibadah umroh kami ini. Pelaksanaan umroh ini dipandu oleh seorang Mutowib, yaitu Ustadz Rizkon.
Setelah itu, mulai dari subuh, siang hingga malam hari ini, kami melaksanakan ibadah masing-masing. Artinya, setiap jemaah dibebaskan melakukan ibadah dan memperbanyak ibadah masing-masing, dan tidak dipandu lagi oleh Mutowib. Oleh karenanya, selepas shalat isya dan makan malam di hotel, suamiku mengajak untuk tawaf sunat.
Karena masih trauma peristiwa setelah umroh kemarin malam, aku membuat perjanjian dengan suami untuk mendampingi. Aku minta benar-benar digandeng sehingga kami tidak terpisah.
Selanjutnya, kami memulai tawaf dengan mengikuti petunjuk start pada lampu hijau. Pada putaran pertama, tawaf kami berjalan lancar. Namun memasuki tawaf kedua, jemaah lainnya mulai ramai memenuhi areal tawaf. Saking ramainya, tiba-tiba kami tersedot gelombang manusia, sehingga aku terpisah dengan suami.
Aku mencoba untuk tenang dan melanjutkan tawaf tanpa suami di sampingku. Aku berharap di tengah-tengah perjalanan tawaf ini kami berjumpa kembali. Namun harapanku sia-sia belaka. Sampai selesainya tawaf aku tak menjumpai suamiku. Dengan perasaan campur aduk, ada marah, jengkel, kesal dan hampir menitikkan air mata, aku berucap, " Duh, kemana sih suamiku? Janjinya saat tawaf menggandengku terus. Nyatanya, kami terpisah lagi seperti ini!" Aku melontarkan ucapan itu dengan nada kesal.
Karena kesal pada suami, lalu aku memilih langsung pulang ke hotel saja! Apa yang terjadi setelah aku tiba di hotel? Olala, ternyata kunci kamar ada pada suami! Percuma dong aku balik duluan, toh tak bisa juga beristirahat ke kamar! Lalu, aku melanjutkan menunggu saja di loby hotel. Setelah lewat setengah jam suamiku belum juga nongol. Aku mulai gelisah dan tidak sabar.
Seorang Mutowib bertanya kenapa aku seorang diri? Kujawab aku sedang menunggu suami. Saat itu jam menunjukkan hampir tengah malam. Tak ada lagi orang di loby hotel. Akhirnya Mutowib itu meyarankan aku untuk ke kamar saja. Mutowib itu membantu berkomunikasi dengan petugas hotel, sehingga aku dibuatkan kunci baru lagi.
Berbekal kunci itu aku bergegas ke lift menuju kamarku di lantai 17! Sebetulnya aku takut berada di dalam lift seorang diri, malam hari pula. Tapi apa boleh buat, aku sudah letih karena lama menunggu dan ingin cepat-cepat merebahkan tubuh di tempat tidur.
Apa yang aku harapkan untuk cepat-cepat ke kamar tak berjalan sesuai harapanku. Belum lagi sampai ke lantai 17, pintu lift terbuka dan masuklah laki-laki Arab yang tak kukenal. Tentu saja aku ketakutan dan memilih keluar Lift! Begitu terus selanjutnya yang terjadi, sehingga aku tak sampai-sampai di lantai 17 karena cuma keluar masuk lift saja!
Akhirnya aku memilih naik melalui tangga biasa. Eh, setelah sampai di lantai 16, ternyata tak ada lagi tangga untuk sampai ke lantai 17! Jadi gimana nih? Aku mulai ketakutan dan menangis. Di dalam hati ini ngedumel tak karuan kesal pada suami. Karena kelelahan turun naik tangga dan lift, aku memutuskan kembali lagi ke loby. Dengan nafas masih terengah-engah aku merebahkan tubuhku di bangku panjang loby hotel itu.
Baru saja menghela nafas panjang, tiba-tiba aku melihat sosok suamiku memasuki loby hotel. Alhamdulilah ya Allah, akhirnya Engkau pertemukan kembali aku dengan suamiku. Rasa kesal yang ada di dada sirna sudah melihat kedatangannya. Aku sadar, tadi terombang-ambing di dalam lift dan tangga karena aku tak sabaran dengan suamiku. Coba kalau tadi aku tunggu saja di pintu Masjidil Haram tempat biasa dimana kami sering janjian pasti tak begini kejadiannya.
Aku langsung menceritakan pengalamanku barusan dan meminta maaf pada suami. Suami pun meminta maaf atas kelalaiannya. Memang beribadah di tanah suci ini harus dengan kerelaan dan keikhlasan. Manakala kita menyampingkan rasa itu, ada saja bentuk teguran dari Allah. Aku menyadari, apa yang aku alami barusan adalah salah satu bentuk teguran Allah...
alllo salam kenal...
BalasHapus