Adakalanya niat baik kita tak seindah yang kita harapkan. Niat berbuat baik malah jadi petaka bagi kita. Gimana ceritanya koq bisa begitu? I...
Adakalanya niat baik kita tak seindah yang kita harapkan. Niat berbuat baik malah jadi petaka bagi kita. Gimana ceritanya koq bisa begitu? Ini nih... aku ceritakan pengalamanku beberapa waktu yang lalu.
Ceritanya, aku punya kantor nih. Sebuah kantor milik instansi pemerintah. Sebagai 'kepala' di kantor itu (ceritanya aku jadi bos-nya nih), tentu saja aku harus bertanggung jawab terhadap masalah kebersihan lingkungan. Bukan hanya kebersihan kantorku sendiri, tetapi lingkungan kantor sekelilingnya tetap jadi perhatianku.
Permasalahannya terjadi ketika ada sebidang tanah tepat di depan kantorku, yang tak berpenghuni dan tak terawat. Rumput yang tinggi sudah seperti semak belukar. Bahkan mungkin saja sudah menjadi sarang ular saking rimbunnya belukar itu. Aku sudah menghubungi pemiliknya tapi tak berhasil. Sang empunya tanah berdomisili di Bengkulu. Manalagi banyak tumpukan sampah teronggok di sana. Aku mengurut dada saja. Dalam hatiku berkata, hari gini masih banyak ya orang buang sampah sembarangan?
Oleh karena tututan rasa tanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan, maka aku spontanitas menyuruh penjaga kantorku untuk membersihkan lahan tersebut. Dibantu seorang tenaga lagi yang bekerja selama dua hari full time, akhirnya tanah seluas 2 kapling tersebut bersih tiada lagi belukar di atasnya. Sekalian saja aku menyuruh penjaga kantorku menanam pisang, singkong, kangkung, katuk, tomat, dan beberapa jenis bunga di sekelilingnya. Sehingga lahan yang tadinya seperti belukar berubah menjadi kebun mini. Aku fikir, daripada terlantar lebih baik tanah itu dipelihara dan dirawat.
Belum lagi bisa menikmati hasil panen dari kebun mini tersebut, suatu hari tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara orang marah-marah di depan kantorku. " Siapa yang menanam tumbuhan di tanah itu? Koq lancang sekali nggak ijin lagi!" Agaknya kemarahan orang itu ditujukan kepada penjaga kantorku yang saat itu sedang mencangkul singkong di 'kebun mini' itu. Perkataan orang itu langsung disambut amarah oleh penjaga kantorku yang merasa tersinggung oleh omongannya. Sehingga terjadilah keributan kecil.
Mendengar suara gaduh, aku buru-buru keluar menenangkan keduanya. Orang yang marah-marah itu ternyata si empunya tanah yang baru datang dari Bengkulu. Kebetulan dia singgah ke lokasi tanah miliknya itu dan terkejut melihat ada orang mengolah tanahnya dan bercocok-tanam di atas tanahnya tersebut.
Sebelum terjadi salah paham yang berkelanjutan, aku menenangkan Pak Hardi (nama orang itu) dan mengajaknya masuk ke dalam kantor. Aku jelaskan padanya bahwa akulah yang menyuruh Pak Abah (penjaga kantorku) mengolah tanah itu. Dengan maksud bukan untuk menguasai namun demi lingkungan yang bersih dan terpelihara. Malu dong, masak pimpinan kantornya seorang cewek tapi lingkungannya jorok dan kotor. Sementara untuk minta ijin dulu pada si empunya tanah aku tidak mengetahui alamat dan nomor kontaknya.
Setelah kujelaskan panjang lebar akhirnya Pak Hardi dapat memahami dan akhirnya dia minta maaf padaku juga pada Pak Abah. "Mestinya Pak Hardi berterima kasih lho pada saya, karena tanah Pak Hardi akhirnya terpelihara, sementara Pak Hardi tidak mengeluarkan ongkos sepeserpun untuk mengupah orang membersihkan belukar di atasnya!" begitu ucapku menutup pembicaraan dengan Pak Hardi.
Itulah sedikit pengalamanku, ternyata niat baik tak selalu berbuah baik. Buntutnya malah terjadi salah paham seperti yang aku alami itu.
Ceritanya, aku punya kantor nih. Sebuah kantor milik instansi pemerintah. Sebagai 'kepala' di kantor itu (ceritanya aku jadi bos-nya nih), tentu saja aku harus bertanggung jawab terhadap masalah kebersihan lingkungan. Bukan hanya kebersihan kantorku sendiri, tetapi lingkungan kantor sekelilingnya tetap jadi perhatianku.
Permasalahannya terjadi ketika ada sebidang tanah tepat di depan kantorku, yang tak berpenghuni dan tak terawat. Rumput yang tinggi sudah seperti semak belukar. Bahkan mungkin saja sudah menjadi sarang ular saking rimbunnya belukar itu. Aku sudah menghubungi pemiliknya tapi tak berhasil. Sang empunya tanah berdomisili di Bengkulu. Manalagi banyak tumpukan sampah teronggok di sana. Aku mengurut dada saja. Dalam hatiku berkata, hari gini masih banyak ya orang buang sampah sembarangan?
Oleh karena tututan rasa tanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan, maka aku spontanitas menyuruh penjaga kantorku untuk membersihkan lahan tersebut. Dibantu seorang tenaga lagi yang bekerja selama dua hari full time, akhirnya tanah seluas 2 kapling tersebut bersih tiada lagi belukar di atasnya. Sekalian saja aku menyuruh penjaga kantorku menanam pisang, singkong, kangkung, katuk, tomat, dan beberapa jenis bunga di sekelilingnya. Sehingga lahan yang tadinya seperti belukar berubah menjadi kebun mini. Aku fikir, daripada terlantar lebih baik tanah itu dipelihara dan dirawat.
Belum lagi bisa menikmati hasil panen dari kebun mini tersebut, suatu hari tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara orang marah-marah di depan kantorku. " Siapa yang menanam tumbuhan di tanah itu? Koq lancang sekali nggak ijin lagi!" Agaknya kemarahan orang itu ditujukan kepada penjaga kantorku yang saat itu sedang mencangkul singkong di 'kebun mini' itu. Perkataan orang itu langsung disambut amarah oleh penjaga kantorku yang merasa tersinggung oleh omongannya. Sehingga terjadilah keributan kecil.
Mendengar suara gaduh, aku buru-buru keluar menenangkan keduanya. Orang yang marah-marah itu ternyata si empunya tanah yang baru datang dari Bengkulu. Kebetulan dia singgah ke lokasi tanah miliknya itu dan terkejut melihat ada orang mengolah tanahnya dan bercocok-tanam di atas tanahnya tersebut.
Sebelum terjadi salah paham yang berkelanjutan, aku menenangkan Pak Hardi (nama orang itu) dan mengajaknya masuk ke dalam kantor. Aku jelaskan padanya bahwa akulah yang menyuruh Pak Abah (penjaga kantorku) mengolah tanah itu. Dengan maksud bukan untuk menguasai namun demi lingkungan yang bersih dan terpelihara. Malu dong, masak pimpinan kantornya seorang cewek tapi lingkungannya jorok dan kotor. Sementara untuk minta ijin dulu pada si empunya tanah aku tidak mengetahui alamat dan nomor kontaknya.
Setelah kujelaskan panjang lebar akhirnya Pak Hardi dapat memahami dan akhirnya dia minta maaf padaku juga pada Pak Abah. "Mestinya Pak Hardi berterima kasih lho pada saya, karena tanah Pak Hardi akhirnya terpelihara, sementara Pak Hardi tidak mengeluarkan ongkos sepeserpun untuk mengupah orang membersihkan belukar di atasnya!" begitu ucapku menutup pembicaraan dengan Pak Hardi.
Itulah sedikit pengalamanku, ternyata niat baik tak selalu berbuah baik. Buntutnya malah terjadi salah paham seperti yang aku alami itu.
COMMENTS