Rabu, 24 Februari 2010, pukul 20.00 waktu Arab Saudi... Saat menginjakkan kaki pertama kali di bandara King Abdul Aziz, aku takjub sekali....
Rabu, 24 Februari 2010, pukul 20.00 waktu Arab Saudi...
Saat menginjakkan kaki pertama kali di bandara King Abdul Aziz, aku takjub sekali. Pemandangan berbeda mulai terasa. Sejak turun dari pesawat kami dijemput sebuah bis untuk sampai ke ruang tunggu bandara. Di dalam gedung itu, kami membentuk antrian panjang di depan loket tempat kami melakukan boarding-pass.
Saat kami antrian terasa lama sekali. Petugas imigrasi di sana terkesan "semau gue" saat memeriksa dokumen-dokumen. Ada yang sambil ngobrol dengan temannya, ada yang sibuk ngopi sambil merokok, ada ketawa cekakak-cekikik di handphone, bahkan ada yang meninggalkan tempatnya saat sedang bertugas. Otomatis menambah lama waktu antrian. Siapa yang tidak bete tuh? Sudah lama ngantri, eh dilayani dengan tidak sepenuh hati.
Aku pun mulai terasa kecapekan. Koper yang kubawa terpaksa aku jadikan tempat duduk. Beberapa jemaah lainnya tampak kelelahan juga. Ada yang bercengkerama dengan teman, ada yang berdiri sambil memejamkan mata karena ngantuk. Ada juga yang mebgisi waktunya dengan berzikir dan bershalawat.
Saat itu suamiku mengingatkan, jangan ngedumel menghadapi situasi saat itu. Justru sedang diuji kesabaran kita, demikian suamiku mengingatkan. Akhirnya, aku sadar inilah awal ujian kami dalam menjalankan ibadah umroh ini. Waktu yang ada aku isi dengan mengucapkan shalawat dalam hati.
Di loket paling ujung aku melihat saudara sepupu suami dan ayahnya yang aku panggil dengan sebutan Tuwa sedang mengantri. Ya, saat mendengar aku dan suami akan berangkat umroh, ternyata sepupu suamiku si Hary dan ayahnya tertarik juga untuk umroh bareng kami. Bedanya, mereka berangkat dari Jakarta, sedangkan kami dari Palembang. Dari Jakarta mereka langsung ke Mekah, sedangkan kami ke Madinah terlebih dalulu. Mereka 12 hari, sedangkan kami 9 hari perjalanan. Travel agen kami pun berbeda. Tak apalah, yang penting tujuan kami sama. Toh di tanah suci nanti kami tentu akan berjumpa.
Satu-persatu orang-orang menyelesaikan proses boarding-pass. Ada yang dilayani dengan cepat, ada yang bertele-tele. Seperti, untuk memeriksa dokumen satu orang saja ada yang memakan waktu hampir sepuluh menit! Bayangkan! Betapa nggak bete? Tapi ada juga yang diperiksa dokumennya hanya beberapa menit saja.
Pas giliran aku dan suami dipanggil, kami segera menuju meja tempat petugas imigrasi. Awalnya, petugas itu memeriksa dokumen milik suami. Lalu melakukan proses sidik jari. "Khoir?" tanya petugas itu pada suami seraya memalingkan wajahnya padaku. Lalu suamiku menjawab, "Khoir!" Setelah itu, aku dan suami langsung dipersilahkan masuk ke ruang tunggu, bergabung dengan rombongan lain yang telah sselesai boarding-pass.
"Lho, kok Ayah nggak difoto retina matanya? Kenapa pula Ibu koq nggak disidik jari dan difoto seperti yang lainnya?" aku bertanya pada suami.
"Ayah juga nggak tahu, Bu. Mungkin Allah memberikan kemudahan kepada kita selama proses boarding-pass ini." suamiku menjawab rasa keherananku.
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku berjalan mengikuti suami dan bergabung dengan rombongan lain. Aku tak banyak bertanya-tanya lagi kenapa kami berdua menjalani boarding-pass hanya dalam waktu beberapa menit saja. Hanya satu ucapan yang terucap dari bibirku, "Terimakasih ya Allah, Engkau telah memberikan kemudahan ini..."
Saat menginjakkan kaki pertama kali di bandara King Abdul Aziz, aku takjub sekali. Pemandangan berbeda mulai terasa. Sejak turun dari pesawat kami dijemput sebuah bis untuk sampai ke ruang tunggu bandara. Di dalam gedung itu, kami membentuk antrian panjang di depan loket tempat kami melakukan boarding-pass.
Saat kami antrian terasa lama sekali. Petugas imigrasi di sana terkesan "semau gue" saat memeriksa dokumen-dokumen. Ada yang sambil ngobrol dengan temannya, ada yang sibuk ngopi sambil merokok, ada ketawa cekakak-cekikik di handphone, bahkan ada yang meninggalkan tempatnya saat sedang bertugas. Otomatis menambah lama waktu antrian. Siapa yang tidak bete tuh? Sudah lama ngantri, eh dilayani dengan tidak sepenuh hati.
Aku pun mulai terasa kecapekan. Koper yang kubawa terpaksa aku jadikan tempat duduk. Beberapa jemaah lainnya tampak kelelahan juga. Ada yang bercengkerama dengan teman, ada yang berdiri sambil memejamkan mata karena ngantuk. Ada juga yang mebgisi waktunya dengan berzikir dan bershalawat.
Saat itu suamiku mengingatkan, jangan ngedumel menghadapi situasi saat itu. Justru sedang diuji kesabaran kita, demikian suamiku mengingatkan. Akhirnya, aku sadar inilah awal ujian kami dalam menjalankan ibadah umroh ini. Waktu yang ada aku isi dengan mengucapkan shalawat dalam hati.
Di loket paling ujung aku melihat saudara sepupu suami dan ayahnya yang aku panggil dengan sebutan Tuwa sedang mengantri. Ya, saat mendengar aku dan suami akan berangkat umroh, ternyata sepupu suamiku si Hary dan ayahnya tertarik juga untuk umroh bareng kami. Bedanya, mereka berangkat dari Jakarta, sedangkan kami dari Palembang. Dari Jakarta mereka langsung ke Mekah, sedangkan kami ke Madinah terlebih dalulu. Mereka 12 hari, sedangkan kami 9 hari perjalanan. Travel agen kami pun berbeda. Tak apalah, yang penting tujuan kami sama. Toh di tanah suci nanti kami tentu akan berjumpa.
Satu-persatu orang-orang menyelesaikan proses boarding-pass. Ada yang dilayani dengan cepat, ada yang bertele-tele. Seperti, untuk memeriksa dokumen satu orang saja ada yang memakan waktu hampir sepuluh menit! Bayangkan! Betapa nggak bete? Tapi ada juga yang diperiksa dokumennya hanya beberapa menit saja.
Pas giliran aku dan suami dipanggil, kami segera menuju meja tempat petugas imigrasi. Awalnya, petugas itu memeriksa dokumen milik suami. Lalu melakukan proses sidik jari. "Khoir?" tanya petugas itu pada suami seraya memalingkan wajahnya padaku. Lalu suamiku menjawab, "Khoir!" Setelah itu, aku dan suami langsung dipersilahkan masuk ke ruang tunggu, bergabung dengan rombongan lain yang telah sselesai boarding-pass.
"Lho, kok Ayah nggak difoto retina matanya? Kenapa pula Ibu koq nggak disidik jari dan difoto seperti yang lainnya?" aku bertanya pada suami.
"Ayah juga nggak tahu, Bu. Mungkin Allah memberikan kemudahan kepada kita selama proses boarding-pass ini." suamiku menjawab rasa keherananku.
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku berjalan mengikuti suami dan bergabung dengan rombongan lain. Aku tak banyak bertanya-tanya lagi kenapa kami berdua menjalani boarding-pass hanya dalam waktu beberapa menit saja. Hanya satu ucapan yang terucap dari bibirku, "Terimakasih ya Allah, Engkau telah memberikan kemudahan ini..."
Kok pemeriksaannya ternyata bisa beda gitu ya Mbak, nggak sama?
BalasHapusMungkin di sana lebih ketat Mba, soalnya jutaan umat yg datang dalam kurun waktu bersamaan..
Hapus